您的当前位置:首页 > 百科 > Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika 正文

Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika

时间:2025-05-29 11:53:54 来源:网络整理 编辑:百科

核心提示

Warta Ekonomi, Jakarta - Kampus, sarjana, dan para akademisi memiliki tanggung jawab tidak hanya mor quickq软件下载ios

Warta Ekonomi,quickq软件下载ios Jakarta -

Kampus, sarjana, dan para akademisi memiliki tanggung jawab tidak hanya moral, tetapi juga tanggung jawab sosial. Hal ini diwujudkan dengan melaksanakan apa yang harus dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan, kecakapan, dan kemahiran yang telah dikuasai—tentu dengan berbasis etika dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.

Gambaran besar Indonesia adalah perpaduan antara optimisme dan kewaspadaan. Ada banyak alasan untuk optimis terhadap masa depan Indonesia, terutama sebagai negara yang menempati peringkat pertama dalam kategori negara dengan tingkat kesejahteraan subjektif (flourishing). Hal ini terlihat dari studi global oleh Universitas Harvard, Universitas Baylor, dan Gallup pada tahun 2024. Artinya, orang Indonesia adalah yang paling puas dan bersyukur dengan kehidupannya, bahkan dibandingkan dengan negara-negara maju sekalipun.

Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika

Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika

Namun, di sisi lain, tantangan nyata masih menghadang kita, yaitu masalah ketimpangan dan kemiskinan. Kita tidak boleh hanya puas dengan persepsi kebahagiaan, tetapi juga harus jujur pada realitas objektif yang harus diatasi bersama. Ketimpangan masih tinggi (indeks Gini 0,379), dan jurang pemisah antara segelintir orang kaya dengan mayoritas rakyat yang terbelit lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) masih sangat lebar.

Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika

Di sisi lain, Bank Dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2024, lebih dari 60,3% penduduk Indonesia (setara dengan 171,8 juta jiwa) hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, data resmi BPS mencatat tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa. Perbedaan ini terjadi karena indikator yang digunakan sangat berbeda. Misalnya, menurut BPS, sebuah keluarga dengan lima anggota dan penghasilan sekitar Rp3 juta ke atas tidak termasuk kategori miskin. Sedangkan menurut Bank Dunia, keluarga dengan lima anggota harus berpenghasilan sekitar Rp17 juta ke atas baru dianggap bukan keluarga miskin.

Masa Depan Indonesia: Pembangunan Harus Inklusif Berbasis Etika

Bagaimana menyikapi perbedaan angka ini? Kita harus bijaksana. Jika hanya memakai standar minimum nasional, kita mungkin merasa sudah berhasil, padahal sebagian besar rakyat belum mencapai standar hidup yang bermartabat sesuai tingkat perkembangan ekonomi. Namun, penerapan standar Bank Dunia sepenuhnya tanpa penyesuaian juga tidak realistis. Keluarga berpenghasilan Rp17 juta jelas lebih dari cukup, terutama di daerah. Intinya, kemiskinan adalah isu bersama yang harus terus diperangi.

Isu terakhir bagi Indonesia ke depan adalah "Etika dalam Pembangunan sebagai Kompas Masa Depan Bangsa". Etika memegang peran vital dalam pembangunan. Pembangunan harus inklusif dan mempertimbangkan aspek baik-buruk, tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga:

Memastikan tak ada yang tertinggal,

Mengoreksi ketimpangan akses,

Menjunjung martabat manusia, bukan hanya statistik.

Etika menuntun kita untuk tidak puas hanya dengan penurunan angka kemiskinan versi nasional, melainkan mendorong kebijakan yang meningkatkan standar hidup rata-rata, selaras dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang maju.

"The real development is not how fast we progress, but how much we progress together."

("Pembangunan sejati bukanlah tentang seberapa cepat kita maju, tetapi seberapa banyak yang kita ajak maju bersama.")

Isu keadilan tidak boleh dilupakan. Pola pembangunan ke depan harus:

a) inklusif dalam kebijakan,

b) etis dalam pendekatan, metode, dan tindakan,

c) mengedepankan visi jangka panjang yang berkesinambungan dan berkelanjutan.